Dia kakak laki-lakiku yang selalu aku sayangi. Dia selalu
menyematkan pita di rambutku setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah, dengan
warna yang berbeda dalam tiga puluh satu hari. Ia selalu berkata bahwa ia ingin
membeli tiga ratus enam puluh lima pita agar aku bisa mengenakan pita berbeda
setiap tahunnya. Kakak selalu ingat pita mana yang sudah dipakai bulan ini dan
mana yang belum.
Sewaktu kecil, aku dan kakak selalu bermain di kursi goyang
nenek. Dulu saat nenek kami masih ada, kami tidak boleh menyentuhnya sedikit
pun. Nenek kami sangat cerewet dan aku sangat kesal padanya, namun kakak selalu
menasihatiku. Padahal dia hanya selisih dua tahun denganku.
Ketika nenek kami meninggal saat umurku enam—dan kakak
delapan, kami menangis sebentar. Kemudian kakak mengajakku untuk segera
menyerbu kursi goyang nenek dan bermain di sana sampai aku tertawa lagi.
Hari-hari berlalu dan kami sangat menyukai kursi goyang itu. Meski kakak selalu
menakutiku kalau kursi goyang itu berhantu, aku tidak peduli lagi.
Setiap pagi, saat kakak akan menyematkan pita di rambutku, ia
selalu kesulitan karena aku bergoyang-goyang di kursi goyang nenek. Ketika ia
sesekali lupa pita mana yang belum dipakai, aku selalu menertawakannya. Aku
mengatainya pikun, dan kakak hanya tertawa dan mengancam akan memasang semua
tiga puluh satu pita itu di rambutku.
Setiap minggu kakak membeli satu pita. Agar ia mendapatkan
tiga ratus enam puluh lima pita, kakak bilang ia memerlukan waktu tujuh tahun.
Aku pasti akan sabar menanti hingga saat itu tiba.
Tujuh tahun berlalu. Aku membungkuk agar kakak yang terbaring
lemah di kasur dapat mencapai kepalaku untuk menyematkan pita.
“Kemarin … pita mana yang sudah kau pakai?”
Dulu aku selalu tertawa dan mengatainya saat kakak mengatakan
itu. Tapi kini, aku seperti ingin menangis. Setahun lalu, dokter berkata bahwa
kakak mendapat kanker di otaknya. Daya ingatnya semakin berkurang. Ia tak
memiliki sehelai pun rambut lagi di kepalanya. Kami tidak bisa bermain-main di
kursi goyang lagi, namun kakak masih setia menyematkan pita di rambutku setiap
hari.
Kemarin aku membelikannya sebuah wig. Kakak tersenyum, namun
ia tak mau memakainya. Kakak selalu berkata ia ingin tampil apa adanya sejak
dulu, dan bahkan sekarang. Namun dia menghargai pemberianku dan menyimpannya.
Dia tetap kakakku. Kakakku yang kusayangi.
Tiga ratus lima puluh tujuh pita telah terkumpul. Namun kakak
telah meminta maaf padaku, berkata mungkin dia takkan bisa meneruskan hingga
tiga ratus enam puluh lima. Aku berkata padanya; tidak apa-apa. Semua pita yang
ada suda cukup untuk kebahagiaanku selamanya.
Di hari terakhirnya, kami duduk berdampingan di kursi goyang
nenek yang besar—di serambi depan rumah kami. Bahkan untuk duduk di sana saja
kakak memerlukan bantuan karena ia tak mampu lagi berjalan. Saat aku duduk di
sampingnya, aku tahu tubuhnya sangat kurus hingga aku merasa bersentuhan dengan
tulang belulang saja.
Kami masih tertawa bahagia hari itu. Aku masih menyandarkan
kepala di pundak kurus kakak dan kakak membelai rambutku. Kakak masih menyapa
orang-orang yang lewat dengan senyum bahagia di wajahnya.
Namun kakak menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam
tidurnya. Tiga ratus lima puluh tujuh pita yang terkumpul dalam sebuah kotak
menjadi hadiah terakhir untukku. Aku tahu penglihatan kakak semakin berkurang
juga, hingga ia tak sadar ia telah membeli banyak pita berwarna sama. Tapi itu
bukan masalah bagiku—karena semua pita ini adalah bukti rasa sayang kakak untuk
kebahagiaanku selamanya.
Dia tetap kakakku. Dia kakak laki-lakiku yang selalu
kusayangi.
(Saya dapat prompt pita-wig-kursi goyang buat nulis ini. Maaf kalau gaje)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar