Kamis, 04 Juni 2015

Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh Pita

#NulisRandom2015 - 1 Juni (telat posting)
 
Dia kakak laki-lakiku yang selalu aku sayangi. Dia selalu menyematkan pita di rambutku setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah, dengan warna yang berbeda dalam tiga puluh satu hari. Ia selalu berkata bahwa ia ingin membeli tiga ratus enam puluh lima pita agar aku bisa mengenakan pita berbeda setiap tahunnya. Kakak selalu ingat pita mana yang sudah dipakai bulan ini dan mana yang belum.
Sewaktu kecil, aku dan kakak selalu bermain di kursi goyang nenek. Dulu saat nenek kami masih ada, kami tidak boleh menyentuhnya sedikit pun. Nenek kami sangat cerewet dan aku sangat kesal padanya, namun kakak selalu menasihatiku. Padahal dia hanya selisih dua tahun denganku.

Ketika nenek kami meninggal saat umurku enam—dan kakak delapan, kami menangis sebentar. Kemudian kakak mengajakku untuk segera menyerbu kursi goyang nenek dan bermain di sana sampai aku tertawa lagi. Hari-hari berlalu dan kami sangat menyukai kursi goyang itu. Meski kakak selalu menakutiku kalau kursi goyang itu berhantu, aku tidak peduli lagi.
Setiap pagi, saat kakak akan menyematkan pita di rambutku, ia selalu kesulitan karena aku bergoyang-goyang di kursi goyang nenek. Ketika ia sesekali lupa pita mana yang belum dipakai, aku selalu menertawakannya. Aku mengatainya pikun, dan kakak hanya tertawa dan mengancam akan memasang semua tiga puluh satu pita itu di rambutku.
Setiap minggu kakak membeli satu pita. Agar ia mendapatkan tiga ratus enam puluh lima pita, kakak bilang ia memerlukan waktu tujuh tahun. Aku pasti akan sabar menanti hingga saat itu tiba.
Tujuh tahun berlalu. Aku membungkuk agar kakak yang terbaring lemah di kasur dapat mencapai kepalaku untuk menyematkan pita.
“Kemarin … pita mana yang sudah kau pakai?”
Dulu aku selalu tertawa dan mengatainya saat kakak mengatakan itu. Tapi kini, aku seperti ingin menangis. Setahun lalu, dokter berkata bahwa kakak mendapat kanker di otaknya. Daya ingatnya semakin berkurang. Ia tak memiliki sehelai pun rambut lagi di kepalanya. Kami tidak bisa bermain-main di kursi goyang lagi, namun kakak masih setia menyematkan pita di rambutku setiap hari.
Kemarin aku membelikannya sebuah wig. Kakak tersenyum, namun ia tak mau memakainya. Kakak selalu berkata ia ingin tampil apa adanya sejak dulu, dan bahkan sekarang. Namun dia menghargai pemberianku dan menyimpannya.
Dia tetap kakakku. Kakakku yang kusayangi.
Tiga ratus lima puluh tujuh pita telah terkumpul. Namun kakak telah meminta maaf padaku, berkata mungkin dia takkan bisa meneruskan hingga tiga ratus enam puluh lima. Aku berkata padanya; tidak apa-apa. Semua pita yang ada suda cukup untuk kebahagiaanku selamanya.
Di hari terakhirnya, kami duduk berdampingan di kursi goyang nenek yang besar—di serambi depan rumah kami. Bahkan untuk duduk di sana saja kakak memerlukan bantuan karena ia tak mampu lagi berjalan. Saat aku duduk di sampingnya, aku tahu tubuhnya sangat kurus hingga aku merasa bersentuhan dengan tulang belulang saja.
Kami masih tertawa bahagia hari itu. Aku masih menyandarkan kepala di pundak kurus kakak dan kakak membelai rambutku. Kakak masih menyapa orang-orang yang lewat dengan senyum bahagia di wajahnya.
Namun kakak menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam tidurnya. Tiga ratus lima puluh tujuh pita yang terkumpul dalam sebuah kotak menjadi hadiah terakhir untukku. Aku tahu penglihatan kakak semakin berkurang juga, hingga ia tak sadar ia telah membeli banyak pita berwarna sama. Tapi itu bukan masalah bagiku—karena semua pita ini adalah bukti rasa sayang kakak untuk kebahagiaanku selamanya.
Dia tetap kakakku. Dia kakak laki-lakiku yang selalu kusayangi.

(Saya dapat prompt pita-wig-kursi goyang buat nulis ini. Maaf kalau gaje)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar