#NulisRandom2015
- 3 Juni
Kala itu
senja. Semburat oranye melingkar-lingkar di kanopi langit. Awan berarak dengan
saput kemerahan.
Mereka
memandang senja, dengan tangan masih berpegangan satu sama lain. Seolah tak
ingin saling kehilangan, genggaman mereka mengerat.
“Chizuru.”
“Seiji.”
Tanpa
dikomando, mereka saling memanggil secara bersamaan—kemudian menatap satu sama
lain secara bersamaan pula. Tidakkah mereka terlihat serasi? Mereka mungkin
terlihat seperti pasangan yang benar-benar cocok dan akan bersama selamanya.
Tapi
mungkin itu salah.
“Jadi ….”
Chizuru menghela nafas,”bagaimana keputusanmu, Seiji? Aku sudah memberimu waktu
untuk berpikir.”
“Maaf,
Chizuru. Keputusanku tetap. Aku akan meninggalkanmu,” jawab Seiji tegas, namun
lirih. Chizuru menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai terkumpul di
pelupuk mata,”Jadi kita berakhir sampai di sini, Seiji?”
“Ya.”
“Tapi kau
tidak salah, Seiji. Aku tidak mau ….”
“Salah
tidak salah, aku hanya akan membawa ketidakbahagiaan untukmu. Aku harus
meninggalkanmu, Chizuru.”
Chizuru
menggeleng,”Siapa bilang? Aku bahagia denganmu!”
Seiji
memalingkan wajahnya, tak ingin memandang wajah Chizuru. Ia tahu Chizuru akan
menangis dan ia tak suka melihat itu,”Chizuru, kau ingat harapan kita saat
pertama kali kita bersama?”
“Semoga
kita bisa saling menjaga satu sama lain, saling melindungi satu sama lain kan?
Jadi kenapa kau mengkhianati harapan kita?” seru Chizuru dengan suara bergetar.
Seiji menggeleng keras,”Aku tidak berniat mengkhianati harapan kita! Kita harus
berpisah agar aku bisa melindungimu. Chizuru, akan berbahaya jika aku terus
dekat denganmu. Ini menular, ingat?”
“Aku tahu
kalau itu menular. Tapi aku yakin kau akan menjagaku agar aku tidak sampai
tertular, bukan?”
“Bagaimana
jika salah satu dari kita ceroboh? Aku ini sudah kotor, Chizuru. Aku tidak
pantas lagi bersamamu. Sudahlah, biarkan aku meninggalkanmu. Kita akhiri sampai
di sini,” Seiji berdiri. Namun Chizuru menarik tangannya,”Kau tidak kotor! Kau
tidak tahu kalau ada virus HIV dalam darah yang ditranfusikan untukmu, kan?”
“Chizuru …
ini tetap sebuah perpisahan. Kau pasti bisa mendapat yang lebih baik dari
seseorang yang telah terinfeksi HIV sepertiku.”
Seperti
yang Seiji katakan, ini tetap sebuah perpisahan. Seiji tetap berjalan menjauhi
Chizuru yang menangis tersedu-sedu. Langit perlahan mulai meredupkan oranye,
terganti dengan kelabu gelap malam.
(Saya
dapat prompt senja-perpisahan. Dan ini terinspirasi kisah seorang anak yang
mendapat virus HIV gara-gara tranfusi darah, tapi saya kurang ngerti. Maafkan
saya kalau ada yang salah. Iya, saya tahu HIV tidak menular dengan mudah
seperti hanya dengan berdekatan dan ODHA tidak boleh dikucilkan, tapi tokoh di
sini sudah terlanjur putus asa
ceritanya ._.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar