Kamis, 04 Juni 2015

Bulan


#NulisRandom2015 - 2 Juni (telat posting lagi)

Alana mencintai setiap momen menyenangkan bersama adik laki-lakinya. Terutama saat sang ayah menyetir di bawah sinar rembulan. Ibunya sudah lama meninggal, dan mereka hidup bertiga. Sang adik laki-laki, Altan—yang hanya selisih setahun darinya, selalu menyukai bulan.
“Kau tahu, Altan? Kemana pun kita pergi, bulan selalu mengikuti kita.”
“Hah? Memang bulan bisa berjalan, kak?”
“Tidak, tapi setiap kali seseorang menatap ke langit malam yang cerah, bulan selalu setia ada di atasnya.”

Beberapa tahun kemudian, Alana telah menjelaskan penjelasan ilmiahnya pada sang adik, namun Altan menolak untuk percaya dan terus menganggap bulan sebagai semacam dewi. Dewi yang melindungi mereka dari ketakutan dan memberikan kebahagiaan bagi Altan, Alana dan ayahnya.
Alana membuatkan kue berbentuk bulan sabit di malam natal. Alana menggunting kertas berbentuk bulan sabit dan menempelkannya di dinding kamar Altan. Sampai SMA, Altan tetap menyukai bulan sabit.
 “Altan, kau mau ke mana di malam tahun baru?”
“Aku hanya ingin menyusuri jalan yang biasa kita lewati di tahun-tahun sebelumnya. Malam hari, di bawah sinar bulan. Dan seperti biasa ayah yang menyetir.”
Mereka selalu melakukan kegiatan yang sama setiap tahunnya. Bukan hanya di tahun baru, tapi di malam natal, malam ulang tahun Alana atau Altan, dan hari istimewa lainnya.
Namun malam tahun baru adalah malam yang paling mereka sukai. Alana sangat menyukai kembang api, dan di malam tahun baru, hampir di setiap jalan ada kembang api. Perpaduan kembang api dan cahaya bulan yang menakjubkan.
Selagi sang ayah menyetir di depan, Alana dan Altan duduk di belakang. Gemerlap lampu kota dan gemerlap kembang api berpadu menjadi satu. Alana menatap ke luar jendela,”Ah, itu bulan. Di antara kembang api … indah sekali.”
Sayup-sayup terdengar suara ledakan kembang api dari berbagai macam tempat. Altan tersenyum,”Ya, suara ledakan kembang api.”
Alana masih menatap ke luar jendela sambil memegang tangan adiknya,”Coba kau tebak, sampai di mana sekarang?”
“Mmm … jembatan? White Bridge, bukan?” tebak Altan. Alana memasang wajah cemberut,”Ih, tebakanmu selalu benar!”
“Haha … padahal aku hanya asal menebak.”
Alana memandang Altan dengan tatapan sedih. Kedua mata Altan yang tampak hampa itu tak diberi kesempatan untuk melihat warna sejak lahir. Ya, Altan memang buta.
Dia menyukai bulan tanpa pernah melihat bentuk aslinya—hanya mendengar cerita sang kakak tentang keindahan bulan. Oleh karena itu Alana membuat berbagai macam barang dengan bentuk bulan agar Altan bisa merabanya dan membayangkan bagaimana bentuk aslinya.
Setiap tahun baru, saat kembang api bermekaran di langit, mendengar suara ledakannya saja ia sudah begitu bahagia. Altan tahu kakaknya yang amat mencintai kembang api kini sedang bahagia. Baginya, tidak apa-apa ia tak bisa melihat semua hal yang dikatakan indah oleh Alana—asal seluruh keluarganya bahagia.
Tiba-tiba mobil mereka sudah berhenti di pantai. Kembang api sedang bermekaran indah di langit malam yang menaungi ombak laut. Alana turun dari mobil sambil menggandeng tangan Altan, memandang takjub ke arah langit.
“Kakak, apa warna kembang api yang sedang kakak lihat?”
“Eh?” Alana menoleh. Tak lama kemudian, ia menjawab lirih,”Warnanya perak seperti bulan.”

(Saya dapat prompt bulan-menyetir-senang untuk ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar