Sabtu, 18 April 2015

Harapan Membisu



Semenjak kecil beriring—cinta monyet itu sementara katanya
Monotonis yang terulang dalam repetisi
Kau tahu saat-saat derita menghadang, merayapi tiap-tiap sudut kisah yang tak usai
Kau tahu tak perlu beranjak, kau ulurkan tangan dengan harapan yang membisu
Namun serupa angan yang tak bersuara, derita menyelip diam tanpa aba-aba kasatmata
Dan setiap alinea bahagia yang mampu menyihir, seolah takdir tiada ingin tahu
Bagaimana sang malaikat maut hampir menyapa?
Kau pilih seribu alasan untuk meniti jalan; tiada tahu akhir; maupun ujung dari suram
Karena takdir menghadirkan duka; selalu dan selalu; tiada kata bosan menyanggah
Kau dan dia mungkin menemukan satu tawa untuk singgah
Sebelum kemudian takdir merenggut laun
Kalian menghidupkan senyum di bawah nestapa; meski sedikit waktu kan runtuh dan hancur
Kalian menoreh keyakinan bahwa selamanya itu ada
Bahwa kekal kebersamaan itu faktanya tercipta,
Namun—
Dewi takdir bukan panah cinta; dari balik awan ia mengintip dan menurunkannya
Malaikat maut untuk mengakhiri segala
( bahkan uluran tanganmu dengan harapan membisu, tak mampu selamatkan )

 Pacitan, 31 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar